Posted by : Nurinaernest Selasa, 22 Maret 2016

     Salah satu ciri khas orang Jawa yang cukup menarik untuk disimak; adalah bahwa manusia Jawa memiliki kesadaran kuat tentang arti kebudayaan bagi kehidupan sosial dalam masyarakatnya.Menurut Hildred Geertz, ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah-kaidah yang dimaksud, pertama adalah kaidah yang mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar manusia dalam cara berbicara dan membawa dii hendaknya selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukan mereka.
     Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa menamakan kedua kaidah tersebut dengan sebutan prinsip kerukunan untuk kaidah pertama dan sebutan prinsip hormat untuk kaidah yang kedua. Lebih jauh lagi ia menguraikan bahwa prinsip kerukunan itu bertujuan untuk mempertahankan masyarakat agar dalam keadaaan harmonis yang disebut sebagai keadaan rukun. Rukun yang dimaksud di sini adalah keadaan di mana suasana ada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa ada perselisihan dan pertentangan, bersatu dengan tujuan untuk saling membantu.
    Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraannya bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan dengan kelompoknya. Dengan demikian keadaan rukun itu diterjemahkan baginya ke dalam keadaan di mana tidak terdapat perasaan-perasaan negatif, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram.
     Hal ini tentunya terkait dengan seni masyarakat Jawa dan toleransi. Toleransi adalah sifat atau sikap toleran. Dalam mitologi orang Jawa yang berasal dari epos Ramayana dan Mahabharata, hidup ini dilihat sebagai peperangan antara kekuatan khaos dan ketertiban (ordo). dalam Mahabharata, Kurawa dilambangkan sebagai kekuatan khaos dan Pandawa sebagai kekuatan ordo. Kurawa memiliki kesombongan, nafsu-nafsu, egoisme, pelaku kerusuhan, kekacauan dan sebagainya. Sebaliknya Pandawa berpihak pada sifat-sifat keluhuran, kebaikan, keadilan dan semacamnya.
     Karena begitu besar peran wayang di dalam kehidupan orang Jawa, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa wayang merupakan identitas manusia Jawa. Orang Jawa mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh dari pihak Pandawa dan menghindari penggunaan nama tokoh dari Kurawa dan Astina.
       Bentuk yang paling populer di Jawa adalah wayang kulit. Lakon-lakonnya diambil dari ceritera klasik wayang purwa. Lakon-lakon wayang purwa sebagian besar diambil dari bahan-bahan yang ada di India. Pertunjukan wayang purwa diadkan dalam pelbagai kesempatan sosial atau dengan urusan kehidupan keluarga untuk menjamin agar segala sesuatunya berjalan dengan baik serta terhindar dari segalam macam mara bahaya. Misalnya, pagelaran wayang kulit pada tanggal satu Asyura, pada hari kemerdekaan dan dalam hal urusan keluarga biasanya berkaita dengan tahap kehidupan manusia seperti kelahiran bayi, sunatan, perkawinan, membangun rumah dan sebagainya. Atau dalam hal memohon keselamatan seperti merawat anak satu-satunya, anak yang kelima-limanya lelaki atau sepasang anak lelaki dan perempuan yang disebut kedono-kedini. Tujuannya, agar terhindar dari segala mara bahaya.
      Dari pertunjukan wayang, tindakan dan nasib masing-masing tokoh wayang dalam lakon-lakon tertentu, seringkali dipakai oleh orang Jawa untuk memahami makna lakon kehidupan atau realitas yang dihadapinya. Di dalam pagelaran wayang, orang dapat menengarkan ajaran-ajaran yang berbobot mengenai kehidupan. Marbangun Hardjowijoyo mengatakan bahwa dari pagelaran wayang, orang Jawa masih mengharapkan pemikiran tradisional, masih pula ingin menerima ajaranajaran warisan nenek moyang yang disampaikan oleh Ki Dallang melalui suatu lakon tertentu. Misalnya lakon "Kresno Kembang". Melalui Prabu Kresno yang dianggap sebagai titisan Wisnu dan berpembawaan sebagai raja bijaksana, dalang selalu bisa mengomunikasikan pesan-pean bijak yang ada dalam masyarakat Jawa. Maka dapatlah dikatakan bahwa pedalangan wayang kulit adalah suatu rangkuman tindakan-tindakan simbolis yang terpadu, terdiri dari pelbagai macam unsur. Seperangkat gamelan, seperangkat wayang kulit, seperangkat lakon, seperangkat lagu, seperangkat lakon dan manusia-manusianya yang mempergunakan seperangkat aturan-aturan termasuk tata-cara dalam hal berpakaian, bersikap dan berbahasa. Dan semuanya itu begitu erat denga kehidupan orang Jawa yang memang tak bisa lepas begitu saja dari segala sesuatu yang berkaitan dengan wayang.

Sumber referensi: Sardjono A. Maria, 1995. Paham Jawa, Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa
          Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Followers

copyright by Nurina Susanti. Diberdayakan oleh Blogger.

NURINAERNEST

Foto Saya
Indonesian author | Love Printmaking | Be enthusiasticc everyday! :)

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

- Copyright © 2013 Nurinaernest -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -