Posted by : Nurinaernest Sabtu, 09 Februari 2013

         Berdebu. Saat kucoba untuk membersihkan noda diatas pigura kaca ini, tampak sebuah foto manis seorang anak yang memiliki senyum tipis. Rambut yang terlihat acak-acakan dan gayanya yang ‘sok musisi’. Kurasa aku bersyukur dapat menemukan sisa-sisa kenangan dari Levi yang masih ada. Kututup lemari tuaku dan aku beranjak ke dekat jendela sambil memegang foto tua ini. Ini sudah dua tahun yang lalu. Masih seperti kemarin rasanya aku meminta foto Levi saat kami hampir berpisah. Oh, langit, mungkinkah dia masih ingat?? Didalam foto ini kulihat jajaran kota beratap merah. Sepertinya, kita memang tidak sengaja bertemu. Hal itu pasti bukan kebetulan semata, tetapi adalah takdir saat kita tertawa. Atau mungkin, memang ditakdirkan untuk bertemu? Aku rasa mungkin keajaiban.

            Kisah persahabatan antara aku dan Levi mungkin lebih indah bila disajikan dalam bentuk komik. Aku mengenal Levi saat pertama kali bertemu di gedung kesenian. Saat itu, acara Pameran Lukisan sedang digelar. Aku dan Levi bertubrukan saat ingin memotret sebuah obyek.  Masa lalu berputar dalam benakku.
Dua tahun yang lalu…
            Duk!
            “Aw..sakit!” Aku berteriak.
            “Maaf, aku tidak sengaja.” Aku mendongak dan menatap wajah seseorang yang menabrakku.
            “Tapi, aku yang akan memotret foto ini lebih dulu..” kataku.
            “Hey, enak saja. Aku akan ikut lomba foto. Jadi aku yang ingin memotretnya.”
            “Bukankah banyak orang yang juga memotretnya? Kenapa kamu hanya melarangku?”
            “Karena kamu mengganggu. Bukannya diam seperti yang lain?”
            “Jadi aku harus diam? Harus tidak bergerak? Hei… siapa sih kamu? Dasar.”
            “Aku Levi. Memangnya kamu siapa?” Dia mengajakku bersalaman. Aku terkejut dan tidak menyangka. Aku pun membalas dengan bersalaman juga.
            “Aku Feli.” kataku. Dia melepas jabatan tangannya dengan keras.
            “Dasar. Aku tidak suka dengan orang yang ‘latah’. Selalu ikut-ikutan. Pergi sana!”
            “Hei..apa maksudmu? Apa aku salah?”
            “Masih belum sadar? Pergi ke tempat ini, memotret obyek yang sama, dan juga nama yang hampir sama. Apa itu kebetulan?” Levi mengalungkan DSLRnya di leher dan menyetel lensa dengan tangan kiri. Ia sibuk mengatur fokus dan kemudian membidik ke arahku.
            “Kamu memotretku?” Aku terbelalak.
            “Ekspresimu tidak enak dilihat. Aku yakin ini wajah terjelekmu, jadi berusaha kuabadikan.” Levi tersenyum nakal dan melangkah pergi menjauh dariku. Aku mengejarnya dan berteriak,
            “Hei tunggu!.. Hapus foto itu. Aku tidak mau kalau kamu mengirim ekspresi jelek itu! Aku tidak mau.!” Aku merengek seperti anak kecil dihadapan orang yang baru saja kukenal.
            “Jadi kamu percaya kalau ini ekspresi jelekmu? Si pemiliknya saja berani berpikir begitu, bagaimana dengan orang lain? Seharusnya seperti apapun dirimu, kamu harus beranggapan bahwa kamulah yang tercantik. Mengerti?” Dia tersenyum nakal dan aku semakin dibuatnya kesal. Amit-amit.. dasar menyebalkan. Baru kenal saja sudah seperti ini. Apalagi kalau sudah bertahun-tahun kenal. Bagaimana mungkin aku bisa akrab?
            “Aku .. hanya tidak mau kalau kamu menyimpan fotoku.” kataku polos.
            “Aku tidak akan menyimpannya gadis kecil. Hanya mungkin fotomu akan mengendap di kamera ini selamanya. Dadaaahh anak manis.” Dia berlari diantara keramaian dan aku hanya terdiam membisu disini. Berdiri mematung dan bengong dengan hal yang baru saja menimpa.
            Pameran lukisan masih berlangsung hingga malam hari nanti. Siang ini kuputuskan untuk beristirahat di taman dekat pameran. Di sebelah taman terdapat  kolam kecil yang jernih. Tangan kananku menggenggam telepon genggam karena kesepian. Aku menendang kerikil-kerikil kecil di dekat kakiku. Masih kesal dengan orang itu. Ya, Levi. Entah siapa, fotografer dengan tampang ‘sok’ keren itu.
            Tiba-tiba seseorang menyodorkan padaku minuman dingin dalam botol. Bulir es masih terlihat di badan botol. Aku yang kehausan dan kepanasan tentu saja refleks menerima uluran tangan ini. Ketika aku mendongak untuk meminumnya, aku tersedak karena melihat wajah si “pemberi” minuman.
            “Uhuk-uhuk!”
            “Sabar..sabar. Orang kalau sudah melihat wajah tampan memang suka seperti ini,ya? Jadi tidak bisa konsentrasi minum..” kata Levi. Aku terus saja terbatuk-batuk dan terpaksa aku melempar botol minuman itu karena emosi.
            “Aku bukannya kagum. Tapi aku ketakutan melihat wajahmu.” kataku ketus.
            “Maaf.. Bukan seperti itu maksudku. Aku..hanya ingin mengenalmu saja.” kata Levi. Dia duduk di sampingku dan kemudian tersenyum manis. Senyum itu.. kenapa melihat senyumnya aku merasa tenang? Seperti disiram oleh air es yang sangat dingin?
            “Aku sengaja datang ke kota ini hanya untuk melihat pameran lukisan. Sebenarnya rumahku bukan di kota Jogja. Disini aku hanya ingin memanfaatkan kesempatan.”
            “Oh ya? Kenapa sama denganku? Aku kesini juga dengan tujuan yang sama.”
            “Betul, kan?.. Dari tadi selalu saja ikut-ikutan. Aku sudah berkata tadi di pameran.. Dasar adik kecil.”
            “Aku sudah enam belas tahun! Sudah bukan anak kecil lagi Kakak besar! Aku sudah kelas 12 SMA!” Aku berteriak di bawah langit biru yang ceria. Bunga-bunga tertiup angin menjadi saksi perkenalan kami.
            “Aku..juga kelas 12. Kenapa bisa sama begini?” Levi bengong menatapku.
            “Tapi kamu masih ‘chibi’.. kenapa bisa seumuran denganku?” Levi masih saja meneruskan kebengongannya.
            “Sudahlah. Aku memang awet muda.” Aku tersipu dan mengibaskan tangan. Melihat ekspresinya yang membuatku ingin tertawa, aku segera meraih DSLRku dan ingin menangkap gambar dalam rangka balas dendam. Tetapi dia menarik tanganku dan membawaku ke sebuah tempat yang lebih indah.
            Tangga yang bertabur bunga. Levi mengajakku untuk duduk diantara anak tangga dan kemudia mengeluarkan sebuah album foto.
            “Aku kesini tidak mengajak temanku. Aku sendirian. Jadi aku harap, kamu menjadi temanku selama disini, ya adik kecil?”
            “Aku kan seumuran denganmu. Kenapa aku harus memangilmu Kakak?”
            “Aku suka. Itu saja.”
Hari-hari serasa cepat berlalu. Pertemuan yang singkat dan cepat membuat aku dan Levi semakin lekat. Hingga kami mendirikan galeri foto seni bernama “FELILEVI” di kota perantauan ini. Selama hampir sebulan kami mengelolanya disaat libur sekolah. Aku sangat senang mendapat pengalaman baru yang berkesan bersama teman baruku ini, dan aku merasa kekuatan cinta di persahabatan kami dapat membuat kami bisa bertemu lagi suatu saat nanti.
Sekarang..
Mungkin kedengarannya memang aneh dan mustahil. Aku menangis saat aku harus menatap wajah tampan di foto ini. Sangat tak percaya bila kamu pergi secepat itu. Kamu harus menerima takdir kematianmu dalam waktu yang singkat. Aku tak tahu bahwa kebersamaan saat itu menjadi pelipur laramu atas penyakitmu yang tak terlihat. Levi, aku merindukanmu. Bahkan, bersama kedamaianmu, aku berharap masih akan mengingatmu sampai kapanpun.
Pigura foto ini kubalik, dan ternyata pigur ini berwajah dua, dibalik foto Levi, terdapat wajahku. Foto yang saat itu diambil oleh Levi. ‘Cantik’.
Masih terukir dengan jelas dibawah foto sebuah kata yang kami ukir.
FELILEVI
Tema 12 #MelodiHijauOranye
Kata Kunci: 

kekuatan, keajaiban, masa lalu, telepon, tangga

{ 2 komentar... read them below or Comment }

Welcome to My Blog

Followers

copyright by Nurina Susanti. Diberdayakan oleh Blogger.

NURINAERNEST

Foto Saya
Indonesian author | Love Printmaking | Be enthusiasticc everyday! :)

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

- Copyright © 2013 Nurinaernest -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -