Berdebu. Saat kucoba untuk membersihkan noda
diatas pigura kaca ini, tampak sebuah foto manis seorang anak yang memiliki
senyum tipis. Rambut yang terlihat acak-acakan dan gayanya yang ‘sok musisi’. Kurasa
aku bersyukur dapat menemukan sisa-sisa kenangan dari Levi yang masih ada.
Kututup lemari tuaku dan aku beranjak ke dekat jendela sambil memegang foto tua
ini. Ini sudah dua tahun yang lalu. Masih seperti kemarin rasanya aku meminta
foto Levi saat kami hampir berpisah. Oh, langit, mungkinkah dia masih ingat??
Didalam foto ini kulihat jajaran kota beratap merah. Sepertinya, kita memang
tidak sengaja bertemu. Hal itu pasti bukan kebetulan semata, tetapi adalah
takdir saat kita tertawa. Atau mungkin, memang ditakdirkan untuk bertemu? Aku
rasa mungkin keajaiban.
Kisah
persahabatan antara aku dan Levi mungkin lebih indah bila disajikan dalam
bentuk komik. Aku mengenal Levi saat pertama kali bertemu di gedung kesenian.
Saat itu, acara Pameran Lukisan sedang digelar. Aku dan Levi bertubrukan saat
ingin memotret sebuah obyek. Masa
lalu
berputar dalam benakku.
Dua tahun yang lalu…
Duk!
“Aw..sakit!”
Aku berteriak.
“Maaf,
aku tidak sengaja.” Aku mendongak dan menatap wajah seseorang yang menabrakku.
“Tapi,
aku yang akan memotret foto ini lebih dulu..” kataku.
“Hey,
enak saja. Aku akan ikut lomba foto. Jadi aku yang ingin memotretnya.”
“Bukankah
banyak orang yang juga memotretnya? Kenapa kamu hanya melarangku?”
“Karena
kamu mengganggu. Bukannya diam seperti yang lain?”
“Jadi
aku harus diam? Harus tidak bergerak? Hei… siapa sih kamu? Dasar.”
“Aku
Levi. Memangnya kamu siapa?” Dia mengajakku bersalaman. Aku terkejut dan tidak
menyangka. Aku pun membalas dengan bersalaman juga.
“Aku
Feli.” kataku. Dia melepas jabatan tangannya dengan keras.
“Dasar.
Aku tidak suka dengan orang yang ‘latah’. Selalu ikut-ikutan. Pergi sana!”
“Hei..apa
maksudmu? Apa aku salah?”
“Masih
belum sadar? Pergi ke tempat ini, memotret obyek yang sama, dan juga nama yang
hampir sama. Apa itu kebetulan?” Levi mengalungkan DSLRnya di leher dan
menyetel lensa dengan tangan kiri. Ia sibuk mengatur fokus dan kemudian
membidik ke arahku.
“Kamu
memotretku?” Aku terbelalak.
“Ekspresimu
tidak enak dilihat. Aku yakin ini wajah terjelekmu, jadi berusaha kuabadikan.”
Levi tersenyum nakal dan melangkah pergi menjauh dariku. Aku mengejarnya dan
berteriak,
“Hei
tunggu!.. Hapus foto itu. Aku tidak mau kalau kamu mengirim ekspresi jelek itu!
Aku tidak mau.!” Aku merengek seperti anak kecil dihadapan orang yang baru saja
kukenal.
“Jadi
kamu percaya kalau ini ekspresi jelekmu? Si pemiliknya saja berani berpikir
begitu, bagaimana dengan orang lain? Seharusnya seperti apapun dirimu, kamu
harus beranggapan bahwa kamulah yang tercantik. Mengerti?” Dia tersenyum nakal
dan aku semakin dibuatnya kesal. Amit-amit..
dasar menyebalkan. Baru kenal saja sudah seperti ini. Apalagi kalau sudah
bertahun-tahun kenal. Bagaimana mungkin aku bisa akrab?
“Aku .. hanya tidak mau
kalau kamu menyimpan fotoku.” kataku polos.
“Aku
tidak akan menyimpannya gadis kecil. Hanya mungkin fotomu akan mengendap di
kamera ini selamanya. Dadaaahh anak manis.” Dia berlari diantara keramaian dan
aku hanya terdiam membisu disini. Berdiri mematung dan bengong dengan hal yang
baru saja menimpa.
Pameran
lukisan masih berlangsung hingga malam hari nanti. Siang ini kuputuskan untuk
beristirahat di taman dekat pameran. Di sebelah taman terdapat kolam kecil yang jernih. Tangan kananku
menggenggam telepon genggam karena kesepian. Aku menendang
kerikil-kerikil kecil di dekat kakiku. Masih kesal dengan orang itu. Ya, Levi.
Entah siapa, fotografer dengan tampang ‘sok’ keren itu.
Tiba-tiba
seseorang menyodorkan padaku minuman dingin dalam botol. Bulir es masih
terlihat di badan botol. Aku yang kehausan dan kepanasan tentu saja refleks
menerima uluran tangan ini. Ketika aku mendongak untuk meminumnya, aku tersedak
karena melihat wajah si “pemberi” minuman.
“Uhuk-uhuk!”
“Sabar..sabar.
Orang kalau sudah melihat wajah tampan memang suka seperti ini,ya? Jadi tidak
bisa konsentrasi minum..” kata Levi. Aku terus saja terbatuk-batuk dan terpaksa
aku melempar botol minuman itu karena emosi.
“Aku
bukannya kagum. Tapi aku ketakutan melihat wajahmu.” kataku ketus.
“Maaf..
Bukan seperti itu maksudku. Aku..hanya ingin mengenalmu saja.” kata Levi. Dia
duduk di sampingku dan kemudian tersenyum manis. Senyum itu.. kenapa melihat senyumnya aku merasa tenang? Seperti
disiram oleh air es yang sangat dingin?
“Aku
sengaja datang ke kota ini hanya untuk melihat pameran lukisan. Sebenarnya
rumahku bukan di kota Jogja. Disini aku hanya ingin memanfaatkan kesempatan.”
“Oh
ya? Kenapa sama denganku? Aku kesini juga dengan tujuan yang sama.”
“Betul,
kan?.. Dari tadi selalu saja ikut-ikutan. Aku sudah berkata tadi di pameran..
Dasar adik kecil.”
“Aku
sudah enam belas tahun! Sudah bukan anak kecil lagi Kakak besar! Aku sudah
kelas 12 SMA!” Aku berteriak di bawah langit biru yang ceria. Bunga-bunga
tertiup angin menjadi saksi perkenalan kami.
“Aku..juga
kelas 12. Kenapa bisa sama begini?” Levi bengong menatapku.
“Tapi
kamu masih ‘chibi’.. kenapa bisa seumuran denganku?” Levi masih saja meneruskan
kebengongannya.
“Sudahlah.
Aku memang awet muda.” Aku tersipu dan mengibaskan tangan. Melihat ekspresinya
yang membuatku ingin tertawa, aku segera meraih DSLRku dan ingin menangkap
gambar dalam rangka balas dendam. Tetapi dia menarik tanganku dan membawaku ke
sebuah tempat yang lebih indah.
Tangga
yang
bertabur bunga. Levi mengajakku untuk duduk diantara anak tangga dan kemudia
mengeluarkan sebuah album foto.
“Aku
kesini tidak mengajak temanku. Aku sendirian. Jadi aku harap, kamu menjadi
temanku selama disini, ya adik kecil?”
“Aku
kan seumuran denganmu. Kenapa aku harus memangilmu Kakak?”
“Aku
suka. Itu saja.”
Hari-hari serasa cepat
berlalu. Pertemuan yang singkat dan cepat membuat aku dan Levi semakin lekat.
Hingga kami mendirikan galeri foto seni bernama “FELILEVI” di kota perantauan
ini. Selama hampir sebulan kami mengelolanya disaat libur sekolah. Aku sangat
senang mendapat pengalaman baru yang berkesan bersama teman baruku ini, dan aku
merasa kekuatan cinta di persahabatan kami dapat membuat kami bisa
bertemu lagi suatu saat nanti.
Sekarang..
Mungkin kedengarannya
memang aneh dan mustahil. Aku menangis saat aku harus menatap wajah tampan di
foto ini. Sangat tak percaya bila kamu pergi secepat itu. Kamu harus menerima
takdir kematianmu dalam waktu yang singkat. Aku tak tahu bahwa kebersamaan saat
itu menjadi pelipur laramu atas penyakitmu yang tak terlihat. Levi, aku
merindukanmu. Bahkan, bersama kedamaianmu, aku berharap masih akan mengingatmu
sampai kapanpun.
Pigura foto ini kubalik,
dan ternyata pigur ini berwajah dua, dibalik foto Levi, terdapat wajahku. Foto
yang saat itu diambil oleh Levi. ‘Cantik’.
Masih terukir dengan jelas
dibawah foto sebuah kata yang kami ukir.
“FELILEVI”
Tema 12 #MelodiHijauOranye
Kata Kunci:
kekuatan,
keajaiban, masa lalu, telepon, tangga
Ini cerita.. curhat atau apa?? O.o
BalasHapusHihihi.. :3..
BalasHapus