Posted by : Nurinaernest Selasa, 19 Februari 2013

             “Hari ini pelajaran Matematika lagi..” keluh Mesia di hari Senin yang cerah. Cahaya matahari masih nampak bersinar terang. Temari memandang heran.

            “Bosan lagi? Kenapa sih dengan Matematika? Aku senang dengan Matematika, tetapi kamu malah membencinya setengah mati..” Temari asik membolak-balik buku diktat Matematika bersampul biru langit di atas bangkunya. Kepalanya yang bergerak-gerak mengiringi irama musik dari headset di telinga.
           “Kamu hebat, ya? Jujur aku salut. Sangat, sangat salut padamu Temari..” Mesia menatap mata Temari dengan tatapan serius. Ia meraih pundak Temari dan membalikkan tubuh Temari sehingga menghadap lurus ke arahnya.
            “Kalau dipikir, kita itu seratus delapan puluh derajat kebalikan, ya? Aku suka dengan seni. Aku suka dengan sesuatu hal yang abstrak dan bisa diapresiasi. Tapi kamu, suka sekali sesuatu hal yang perlu dihitung, dan bertaburan metode rumus. Apa itu sebuah keajaiban dimana kita bisa dipertemukan hari ini?” Aku bersemangat menyusun kata-kata. Temari menepis tanganmu.
            “Hei.. sadarlah Mesia.. tinggal lima puluh enam hari lagi kita ujian nasional! Ingatlah itu.. ingatlah. Dan kamu masih santai-santai saja? Masih juga belum belajar memahami Matematika? Ah, itu tidak lucu. Belajarlah dari sekarang..” Temari cas-cis-cus menasehati dan sret-sret-sret… lagi-lagi Mesia malah asik menggambar di buku coretan yang sering dia coreti gambar macam-macam. Tak mendengar nasehat Temari sama sekali. Temari hanya menggelengkan kepala menatap teman sebangkunya itu.
***
            Hari-hari berjalan hampir ditaburi Matematika. Apalah arti hidup tanpa Matematika? Mungkin seperti itu yang ada di jalan pikiran Temari. Mesia selalu merasa iri akan kecerdasan Temari saat harus mengerjakan soal-soal di papan tulis oleh guru Matematika, dan nilai-nilai memuaskan saat ulangan. Kapankah aku bisa seperti itu? Itulah pertanyaan yang selalu menghantui Mesia. Mesia menyadari, sejak kecil, otaknya seolah menolak Matematika. Sejak ia pertama kali sekolah, Mesia sudah tidak suka dengan pelajaran yang memusingkan itu. Ketika ia disuruh menghitung, membagi, menjumlah, atau mengurangi, ia merasa kesulitan walau kadang sepele. Ia lebih suka bila disuruh mewarnai bidang kosong, mendesain batik, atau membentuk pola pada prakarya. Itu sangat mengasikkan menurut dia.
            “Sepertinya, memang hanya khayalan ya kalau aku bisa pintar Matematika?” tanya Mesia.
            “Mesia.. tidak ada yang tidak mungkin. Kalau kamu belajar dengan tekun, kamu juga pasti akan bisa.” kata Temari.
            “Lalu, dengan cara apa agar aku bisa? Aku tidak tau harus bagaimana agar otakku dapat menerima pelajaran ini.”
            “Lakukanlah dengan bahagia. Anggaplah buku Matematika itu adalah buku teka-teki yang diberikan gurumu. Jadi semua akan terasa menyenangkan. Lakukan yang terbaik, lakukanlah yang terbaik! Tetapkan hidupmu agar tetap semangat!” Temari berapi-api saat menasehati Mesia. Hingga pada akhirnya..
            “Mesia, maju ke depan! Kerjakan nomer tujuh belas!”
            Deg! Darah Mesia berhenti mendengar Bu Mira memanggil namanya untuk maju ke depan kelas. Untuk berbicara sepatah kata saja ia tidak sanggup.
            “Temari.. bagaimana ini? Aku tidak bisa sama sekali. Aku tidak bisa!” kata Mesia berbisik. Mungkin Bu Mira sejak tadi mengamati Mesia yang tidak memperhatikan pelajaran sejak lama. Temari hanya merasa kasihan. Ia pun mencoret-coret pada buku Mesia jawaban soal yang diberikan Bu Mira.
            “Ini, majulah dan tulis jawaban ini..” kata Temari berbisik.
            “Thanks, Ri..”
            Perlahan Mesia menuliskan jawaban Temari pada papan tulis. Bu Mira hanya mengamati kemudian mendehem perlahan.
            “Yak, benar! Silahkan duduk.”
            Hahhh.. Jantung serasa menjadi tenang setelah Bu Mira mengucap kalimat itu. Semesta pun seakan-akan ikut bersorak menyaksikan Mesia yang bisa mengerjakan soal dengan jawaban dari Temari.  Mesia kembali duduk dengan perasaan yang campur aduk. Maju di depan kelas saat pelajaran Matematika memang menjadi hal yang menegangkan bagi Mesia. Mesia selalu merasa tidak siap. Merasa tidak paham, kesulitan, dan merasa paling bodoh disaat-saat seperti itu. Tetapi kali ini, bagikan mercusuar bagi Mesia. Ia kembali terpacu dengan semangat berapi-api. Merupakan sinyal untuk belajar lebih giat lagi.
            “Yak! Aku akan les privat denganmu Temari. Ya?” Mesia berbisik memohon-mohon pada Temari. Bu Mira masih sekilas menatap tetapi kemudian kembali meneruskan materi. Temari hanya memandang dengan tatapan kosong.
            “Jadi maksudmu aku harus mengajarimu setiap hari?” tanya Temari.
            “Apakah kamu keberatan? Aku akan belajar di rumahmu setiap hari sepulang sekolah. Apakah sudah terlambat untuk belajar lagi dari awal?” Mesia balik bertanya dengan wajah kekanak-kanakan. Temari hanya mengangguk kemudian berkata, “Ya..tentu saja. Dengan senang hati. Bukankah belajar bersama itu menyenangkan?” Temari tersenyum dan itu membuat hati Mesia menjadi tenang.
***
            Hari Kamis, suasana masih berjalan seperti biasa…
            Mesia tiba di rumah Temari. Suasana rumah Temari terasa sejuk, tetapi juga terasa aneh. Mesia masih takjub dengan apa yang ada di kamar Temari. Brosur-brosur berserakan, meja belajar layaknya meja kerja, di depan rumah pun terpasang banner yang bertuliskan “Toko Temari”. Oh tidak! Jadi selama ini, Temari membuka toko peralatan memancing? Kenapa selama ini Temari tidak bercerita kepadaku?
            “Jadi, selama ini..kamu mengerjakan ini sendirian?”
            “Iya, Mes.. Aku sangat suka memancing. Menurutku, memancing adalah suatu hal yang mengasikkan. Kita memerlukan sebuah hitungan untuk memperhitungkan berapa panjang kail dengan ikan yang ada di kali. Aku sudah melakukan bisnis sejak Ibu dan Ayahku meninggalkanku sendirian. Oleh karena itu aku menyukai Matematika. Setelah pulang sekolah, barulah toko ini buka. Selain itu, aku juga melakukan pencatatan dan penghitungan pada bisnis kecil ini. Dengan menggunakan program komputer, aku juga menghitung keuntungan dan kerugian yang ku peroleh. Semua itu menyenangkan..”
            Mesia merasa ditipu oleh Temari. Temari yang tak pernah bercerita secara detil tentang kehidupannya….
            “Semua mimpi yang berderet tidak akan selalu terjadi, tapi bahkan kau tahu ini karena langit yang terlihat seperti akan pecah. Tidak apa-apa.. aku hanya ingin tumbuh dewasa. Itu saja.” Temari menatapku yang masih bengong dengan isi rumah Temari.
            “Temari, aku hanya merasa bahwa kehadiranku sangat mengganggumu. Aku yang manja, aku yang tidak tahu, aku yang bodoh.. ya. Aku yang tidak tau apa-apa tentang sahabatnya sendiri. Bukankah ini konyol?” Mesia terlihat sedih melihat keadaan Temari yang tidak pernah dikunjungi orangtuanya tapi masih dapat berdiri tegak, namun dia justru lemah. Aku.. aku.. apa aku harus belajar sendiri?” Mesia lemas bertanya. Temari menepuk pundak Mesia pelan.
            “Teruslah hidup dengan realitas yang terjadi. Lakukan yang terbaik selama hari-hari yang terbatas. Mari belajar bersama! Ganbatte dan semua akan menjadi nyata!”
            Mesia tersenyum kemudian memetik bunga di halaman rumah Temari.
            “Bunga ini.. bunga ini.. akan mekar seiring hari-hari yang terus berganti. Biarkan bunga ini mekar ya, hingga aku bisa menaklukkkan Matematika.”
            Mesia dan Temari pun menjaga Toko Temari bersama-sama. Dengan buku Matematika yang berserakan di meja. Yakin, bunga itu pasti akan mekar!
SELESAI
Tema 17 #MelodiHijauOranye

Kata kunci: mercusuar, cahaya, semangat, khayalan, semesta

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Followers

copyright by Nurina Susanti. Diberdayakan oleh Blogger.

NURINAERNEST

Foto Saya
Indonesian author | Love Printmaking | Be enthusiasticc everyday! :)

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

- Copyright © 2013 Nurinaernest -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -