Pagi hari, matahari menyambut dengan cicitan burung kenari di pepohonan rindang. Mentari segera bersiap berangkat sekolah dengan senyum ceria. Setiap pagi memang selalu begini. Ada kebiasaan rutin yang ia lakukan setiap pagi sejak ia mengenal seseorang yang ia suka. Sejak ia mengenal Senja. Setiap pagi, Mentari selalu bersemangat berangkat sekolah pagi-pagi hanya untuk menunggu. Menunggu di dekat gerbang sekolah dan menunggu Senja datang. Hanya melihat dari kejauhan, lalu mengikuti Senja ke kelas dari belakang. Ada yang ia tunggu dari Senja. Senyum Senja. Ya, Mentari selalu menunggu Senja tersenyum di pagi hari, karena baginya senyum Senja adalah pemicu semangat di pagi hari. Dengan melihat senyum Senja, maka oksigen didalam tubuhnya serasa lebih banyak dan segar. Seluruh oksigen dapat terserap oleh otak dan ia dapat menyerap pelajaran dengan gamblang. Itulah mengapa ia pun selalu ikut tersenyum juga setiap datang ke kelas dan membuat teman-temannya heran.
“Hey, Tari.. Aku heran denganmu. Kenapa kamu selalu bisa tersenyum setiap hari? Sedangkan teman-teman terkadang terlihat sedih dan cemberut di pagi hari?” tanya Sofia.
“Ada pemicu senyumku di pagi hari. Dan membuatku bisa tersenyum sepanjang hari.” jawab Mentari dengan riang.
Mentari sekelas dengan Senja. Senja duduk di belakang Mentari dan selalu bertanya apa saja pada Mentari. Tentang pekerjaan rumah, pendapat mengenai rambut Senja yang baru, film yang disukai, kebiasaan di rumah, dan sebagainya. Sejak itu, Mentari mulai memiliki perasaan khusus pada Senja. Bukan cinta, tetapi suka. Entah apakah perasaan suka itu bisa berubah menjadi cinta? Kita lihat saja.
Senja dan Mentari bisa satu kelas di X-Nine mungkin adalah suatu anugrah terbesar bagi Mentari. Selama hidup Mentari, ia tak pernah merasakan kedekatan pada teman laki-laki seperti saat mengenal Senja. Mentari merasa Senja istimewa. Dan ia ingin selalu dekat dengan Senja. Ingin menjadi sahabat dekat Senja.
Mentari mengingat satu tahun yang lalu, saat Masa Orientasi Siswa, dan guru wali kelas menyebut sebuah nama. “Senja Berkabut”. Itu nama lengkap Senja. Mentari agak terkejut saat itu. Ternyata, ada nama yang unik juga di kelas ini. Sama uniknya dengan namaku. Tapi, mengapa nama itu terlihat seperti cuaca yang menyedihkan? Mentari bertanya-tanya dalam hati hingga membawa lari perasaanya selama hampir setahun ini..
“Hei.. Mentari.. Coba kau lihat gaya rambutku sekarang. Sudah lebih bagus tidak?” tanya Senja. Mentari tertawa. Baru kali ini ada seorang teman laki-laki yang menanyai komentar mengenai gaya rambutnya.
“Lumayan..” jawab Mentari tertawa. Senja mendengus sebal.
Tiap melihat senyum Senja, ada sebuah daya peledak semangat di jantung Mentari. Ia menjadi lebih cerdas, dan berpikir secara cermat. Entah itu Faktor-X, atau apa, tapi secara otomatis perasaan itu muncul kala Senja duduk di bangku belakang Mentari. Sudut kelas menjadi saksi bahwa Mentari mungkin telah jatuh hati.
Ada dorongan yang begitu kuat untuk menyambut senyum Senja secara rutin. Senja tipikal orang yang humoris dan murah senyum. Menyenangkan dan kharismatik. Walau tak terlalu cerdas di kelas, tapi candaannya membuat teman-teman bersemangat dan tertawa. Itulah Senja, yang menerbitkan jiwa-jiwa kelam menejadi lebih bercahaya dari redupnya. Saat Senja sampai di gerbang sekolah, dia selalu tersenyum. Tak tahu mengapa senyum itu menyihir hati Mentari. Senja menerbitkan perasaan suka di hati Mentari.
Senja, aku kagum padamu. Kamu selalu menyambut hari-harimu dengan senyuman. Memompa semangatku di setiap hari, oleh karena itu, aku kan selalu menyambut senyumanmu.. Alangkah bahagianya, bila sampai di gerbang, kita bisa berjalan bersama sampai ke kelas di setiap pagi..
Kata batin Mentari.
Selama ini mungkin perasaan Mentari tersembunyi dan Senja tak perlu mengetahuinya. Dan Mentari memang tak ingin Senja tahu bahwa senyumannya yang selama ini menjadi pembangkit semangat Mentari. Mentari adalah juara kelas. Dan selalu tampil memukau saat menjawab soal-sola dari guru. Tak dapat dipungkiri Senja menjadi kagum. Senja yang dinilai sebagai murid yang bodoh dan ramai pun selalu berteriak kagum saat Mentari tampil memukau dengan jawaban matematika di papan tulis.
“Hei Tari… Kamu hebat sekali. Darimana sih kamu belajar seperti ini? Bagaimana bisa kamu menjadi hebat?” tanya Senja berbisik saat Mentari kembali ke kursi.
“Hanya sebuah senyuman yang bisa membuatku menjadi bisa.” Mentari tersenyum.
“Senyumankukah? Kalau begitu aku akan tersnyum selalu untukmu,…” kata Senja dengan tertawa dan berlagak tersenyum lebar di hadapan Mentari.
“Bukan senyum kamu! Ih, dasar!” Mentari kesal.
Esok harinya, kembali terjadi. Mentari adalah satu-satunya di kelas yang bisa menjawab soal dari Guru Geografi mengenai definisi gempa dan macam-macam gempa. Senja berdecak kagum dan berteriak dari belakang..
“Hei.. terang saja kamu bisa.. Kita kemarin kan sudah belajar kelompok.” Ujar Senja dengan wajah tanpa dosa. Suasana kelas mendadak riuh dan Mentari menengok ke belakang.
“Hei.. memang kamu tahu rumahku?” tanya Mentari.
“Tak perlu pergi ke rumahku kan saat belajar kelompok? Bukankah kita selalu belajar kelompok di kelas?” kata Senja dengan senyum seribu watt. Mentari menyesal telah bertanya dengan konyol. Benar juga apa yang dikatakan Senja. Mentari hanya diam dan mendengus lagi. Dasar Senja! Selalu saja membuat hatiku tersenyum Nakal!
***
Sudah seminggu Senja tidak masuk. Mentari menjadi heran dan gelisah. Kelas terasa sepi tanpa Senja. Tak ada sosok se-humoris Senja dan daya peledak tertawa yang menhidupkan warna kelas. Ia tak berani bertanya pada teman-teman Senja karena tak mau dinilai terlalu ‘peduli’. Selama ini ia merasa sudah dekat sebagai sahabat, dan merasa bersalah bila tak tahu penyebab absennya Senja. Tak ada kabar bahwa Senja sakit. Sepucuk suratpun tak dilayangkan. Akhirnya Mentari mengirim pesan singkat pada Senja dan Senja mengirim sebuah kata-kata untuk bertemu dengan Mentari di Taman Kota pukul lima sore.
Mentari bergegas pergi ke Taman Kota pukul lima sore. Di bangku taman, tampak sosok yang sedang sendirian. Mentari tahu itu siapa. Senja, tampak sedih dan tak terlihat senyum di bibirnya. Sama sekali. Mentari sedih melihat itu. Senyum dambaan Mentari yang selalu ia tunggu di pagi hari kini tak muncul.
“Aku selalu menunggu, meskipun aku tidak mengatakannya padamu, Senja.” kata Mentari pelan. Senja mendongak.
“Mentari.. kamu datang. Selama ini aku tertawa untuk menutupi hari-hari tak berharga yang kulalui.” kata Senja.
“Maksudmu?”
“Dengan mengalaminya sajapun aku hancur. Mentari, kamu tahu kan? Orangtuaku sudah bercerai lebih dari sepuluh tahun ini. Kini, Ibu tiriku sudah lelah merawat diriku yang nakal ini. Aku masih sayang pada Ayahku, tetapi aku harus pergi ke kampung Ibu kandungku di luar kota. Tentunya, aku harus pindah sekolah dan tak berada lagi di kota ini.” kata Senja. Terlihat sedih, dan kecewa. Mentari tak kuasa melihat itu. Dengan segan, ia menepuk pundak Senja pelan.
“Senja, sabarlah. Disini aku masih ada sebagai sahabatmu. Datanglah bila kau butuh, aku selalu bersedia menjadi tempatmu berkelu kesah. Itu kan guna sahabat?” tanya Mentari. Mentari menangis.
“Senja, jika kunyalakan cahaya yang indah seperti inipun, kamu tidak bisa menundukkan kepalamu,kan? Apakah kamu masih bisa mendongak menatap masa depan? Masih banyak hal yang ingin kuketahui darimu. Banyak. Tetapi kamu harus pergi. Tak ada lagi senyum semangatmu yang selalu kunanti di setiap pagi. Senja, senyum itu, senyum kamu..” kata Mentari.
“Jadi, benarkah senyumanku? Mentari, selama ini sebenarnya, aku sudah menganggapmu sebagai cahaya. Sesuai dengan namamu Cahaya Mentari, selalu menerbitkan semangatku dala belajar. Pada mulanya aku tak tertarik dengan pelajaran monoton, tapi karena semangatku, aku menjadi lebih baik hingga saat ini. Terimakasih. Ini bukan alasan aku menghilang dari hidupmu. Aku hanya kembali di tempay aku berasal. Kembali pada Ibuku” Senja tersenyum untuk Mentari, dan menyodorkan bunga matahari ukuran besar.
“Sampai kapanpun, tanpa melupakan dirimu. Best Friend..” Senja terseyum dan bunga matahari itu seolah ikut terseyum.
-TAMAT-
Tema 7 #MelodiHijauOranye
keren, dalem bgt cerita. mantab ;)
BalasHapusThank you :))
BalasHapus