Posted by : Nurinaernest
Minggu, 03 Februari 2013
“Masa depan memang hal berharga kan, Za?” kataku pada Erza. Erza terlihat diam tak menggubrisku.
“Tapi
bukan berarti semua orang pasti memiliki masa depan,kan? Bagaimana kalau aku
adalah salah satu yang tidak memiliki itu?” Erza menundukkan kepala. Aku hanya
bisa memandang sedih sahabatku itu. Erza yang biasa terlihat tegar dan ceria,
kini berubah menjadi pesimis.
“Dimana
kamu yang selalu menyemangatiku? Dimana keceriaanmu itu, Za? Aku rindu kamu
yang dulu..”
“Sudahlah, tidak usah berbicara tentang masa depan.
Lebih baik berbicara saja tentang saat ini.” kata Erza.
“Aku
hanya ingin tau cita-citamu, itu saja. Apa itu salah?” tanyaku.
“Aku
tidak punya cita-cita. Kamu saja yang punya, aku tak usah.” jawab Erza
membuatku kecewa.
Aku
memandang Erza lagi, dan menunduk pasrah akan kata-katanya.
Mengingat
pertama kali aku mengenal Erza, Erza yang pintar menyanyikan musik Rapp saat
Masa Orientasi Siswa, suaranya yang serak dan enak didengar membuatku terlena.
Aku suka menjadi sahabat Erza. Karena dia selalu memberiku energi positif saat
aku kehilangan semangat. Tetapi tidak pantas bila saat ini Erza terlihat sedih
ketika aku bertanya soal cita-citanya. Aku hanya ingin lebih banyak mengenal
dia. Apakah itu salah?
***
Pagi
Minggu yang cerah, Erza berjalan-jalan di taman. Saat itu awan terlihat cerah dan
cantik. Melihat bangku kosong bercat hijau muda di dekat air mancur, ia segera
menghampiri bangku itu dan ingin duduk. Tapi beberapa langkah kemudian ia
berhenti, karena tiba-tiba ada sepasang suami istri dan anaknya yang masih
kecil duduk lebih dulu di bangku. Erza berdiri mematung melihat pemandangan
itu. Keluarga itu terlihat ceria.
“Papa,
aku ingin es krim…” kata anak kecil itu.
“Iya,
Yudi.. Penjualnya belum datang. Nanti kalau sudah lewat, pasti papa belikan.”
“Iya,
Yudi. Kamu harus bersabar ya.” kata Ibunya.
“Mama,
nanti Mama juga belikan Yudi es krim ya, jadi Yudi mendapat dua es krim dari
papa dan mama.” Bocah itu merengek dengan polos seolah tanpa dosa. Papa dan
mama tertawa dan mengangguk serempak. Alangkah
bahagianya keluarga itu…
Erza
tak tahan melihat pemandangan yang terlalu ‘indah’. Dia berlari kembali ke
rumah sambil merogoh saku jaketnya dengan cepat. Headset! Ia butuh headset! Ia
ingin mendengar musik dengan Rapp keras-keras di telinga tak ingin teringat
memori itu lagi.. Setitik air mata jatuh ke tanah. Erza tak kuat lagi berlari.
Menapaki jalan yang lurus tanpa hambatan serasa penuh duri dan derita. Mau tak
mau Erza terus mengingatnya..
***
Masa lalu..
Anak kecil itu meringkuk
dan sembunyi di kolong tempat tidur saat mendengar suara-suara keras
pertengkaran orangtuanya. Dia masih terlalu kecil untuk mendengar hal-hal yang
tak pantas untuk didengar. Entah itu hal sepele, atau tidak, pemicu
pertengkaran masih rumit untuk dimengerti anak usia empat tahun.
Anak laki-laki kecil itu
masih takut, dan menangis. Ia berharap ada Ibu peri yang menghibur di
sampingnya, walau ia percaya disampingnya sudah ada malaikat yang menghibur
tanpa terlihat oleh matanya. Anak kecil itu menangis lagi, dan meraih perekam
suara. Ia bernyanyi dalam tempo cepat. Untuk menutup semua luka agar
suara-suara menyebalkan itu samar dan tak terdengar. Rapper kecil. Dia Erza. Masa
kecil yang menyedihkan.
“Papa dengarkan, Mama bukan bermaksud seperti
itu. Mama hanya ingin bisa membiayai Erza tanpa kesulitan. Bukankah masa depan
Erza itu berada di tangan kita?” Mama menatap wajah Papa yang sedang emosi.
Kacamata Papa turun ke hidung, dan raut mukanya terlihat marah.
“Tapi Papa tidak suka
kalau Mama terlalu sibuk dengan pekerjaan. Aku adalah tulang punggung keluarga
ini! Biarlah Erza menikmati waktu lebih banyak denganmu, bukan dengan
menyerahkan dia ke pengasuh bayi. Siapa ibunya? Apakah Pengasuh Marina itu
Ibunya? Apa kau tidak paham apa maksudku?”
Mama menangis dan mengaku
salah. Darah tinggi Papa Erza kumat dan keluarlah kata-kata yang menyakitkan
dari Papa.
“Biarlah masa depan Erza
aku yang mengatur. Kita cerai.”
***
Erza berlari menuju rumah,
dan disana sudah ada Papa yang menyambut. Melihat ekspresi Erza yang janggal,
Papa mengerutkan dahi dan bertanya, “Erza, kau baik-baik saja?” Erza mengusap
matanya yang basah. Dia hanya terdiam dan melepas sandalnya cepat. Ia berlari
ke kamar tanpa menggubris Papanya yang berteriak memanggil.
Segera Erza mencari-cari
sebuah foto. Foto Ibunya. Ia merindukan sosok Mama yang selalu sibuk saat dia
kecil, dan hanya bisa mengusap kepalanya saat Erza sudah tertidur. Mama yang
biasa membawakan Es Krim ketika ia pulang kerja. Mama yang pekerja keras, Mama
yang wanita karier sukses. Mama yang lembut dan baik hati, tapi sayang Papa
sudah menceraikannya. Ia tak menyalahkan Papa akan hal itu. Papa hanya ingin
Erza merasakan kasih sayang Mama, bukan pengasuh Marina. Tetapi Papa yang mudah emosi, sepertinya
terlihat menyesal telah menceraikan Mama. Tak ada kabar Mama hingga kini. Erza
merindukan senyum Mama, bahkan ketika ia sudah menginjak delapan belas tahun
ini.
Dan kemudian ditemukan
foto dalam sebuah buku catatan tua. Erza meraih foto itu dan memandang wajah
Mama yang sudah memudar tergerus waktu. Erza memegang foto itu dengan cinta. Aku masih sayang Mama.. walau Mama tak
pernah menghubungiku hingga kini.. Aku
selalu menderita. Tapi alasannya sederhana, aku hanya ingin tahu inti dari
sebuah kebahagiaan.
***
“Jadi yang membuatmu putus
asa adalah pertengkaran tentang masa depan itu Za?” tanyaku saat aku dan Erza
berada di perpustakaan.
“Sebenarnya aku tak ingin
menceritakan ini padamu, Rin.. tapi aku rasa hanya dirimu yang sanggup
mendengar keluhku.”
“Erza.. Aku ini kan
sahabatmu. Sudah sepantasnya kalau aku selalu ada saat kamu senang atau sedih.
Oh, iya, nanti sore kamu pergi ke rumahku,ya? Hari ini Mamaku baru pulang dari
Aussie.” kataku. Erza menoleh padaku dan dahinya berkerut.
“Mama kamu dari Aussie?
Kamu sering ditinggal oleh Mamamu?” tanya Erza.
“Iya.. Za. Mama wanita
karier. Sebenarnya Papa tidak suka kalau Mama sesibuk itu. Tapi demi aku, kata
Mama, akan selalu berusaha tanpa henti. Mama ingin masa depanku cerah. Mama
tidak ingin kesulitan. Itu saja. Maaf, ya Za. Aku tidak menyindir Papa kamu
yang tidak menyukai wanita karier. Aku sebenarnya juga tidak suka sering
ditinggal seperti ini. Tapi karena aku masih yakin dan percaya bahwa kasih
sayang itu masih ada. Pasti semua akan baik-baik saja. Bukankah begitu? Bukankah
ini ujian?”
“Ya,.. kamu benar.
Semuanya benar.”
***
“Mama pulang sayang..”
Pintu terbuka dan aku menyambut Mama dengan ceria.
“Mama, ini ada sahabat aku
disini.” Kataku sambil menunjuk Erza. Erza menoleh pada Mama dan kemudian
menatap dengan pandangan kosong. Foto
itu..
“O ya? Kamu bawa sahabat
kamu?... Dia.. Er..za? Kamu Erza? Ersa
sayang? Apakah ini mimpi?” Mama menghampiri Erza tak percaya dan menyentuh pipi
Erza yang masih saja melamun.
“Mama kenal Erza?”
tanyaku. Erza berdiri dan menepis tangan Mama.
“Aku memang Erza. Tapi
kamu bukan Ibuku.” Erza berlari keluar dari rumah. Aku memanggilnya dan
berusaha mengejarnya untuk tahu apa yang terjadi, tapi jejak Erza menghilang.
Aku menangis dan masih kebingungan. Tampak Mama cemas dan sedih. Air mata
berlinang dari matanya yang indah.
“Dia.. anak Mama juga,
Rina..” ucap Mama.
“Apa? Jadi? Erza itu..”
“Sebelum Mama menjadi Ibu
tiri kamu, Mama sudah memiliki anak seumuran dengan kamu. Dia Erza. Tapi Mama
tidak pernah menceritakan ini. Mama ingin menghubungi, tetapi Mama takut..
takut dengan Papa Erza .. Mama minta maaf sayang.. Mama hanya ingin kamu
bahagia.” kata Mama. Air mata masih berlinang.
Aku masih tak percaya akan
ini. Aku merasa bersalah pada Erza, tetapi aku tak tahu apakah aku memang
salah. Ini bukan suatu kebetulan. Ini juga bukanlah mimpi. Tetapi ini
kenyataan.
Tema 9 #MelodiHijauOranye
Kata Kunci: Hal berharga, masa kecil, ujian, taman,
awan