Posted by : Nurinaernest Jumat, 18 Januari 2013

      Dibawah naungan pohon trembesi dengan dedaunan yang terus berguguran, Eri duduk termangu. Tangannya menggenggam I-Pod dan kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama lagu. Meski dari jauh dia terlihat bahagia, namun sebenarnya dia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sempat kecewa di dunia ini.
      Eri membuka buku catatan bergambar panda yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Di dalam buku itu ada sebuah foto yang sedikit usang. Foto dua anak remaja perempuan yang terlihat akrab. Kedekatan itu terpancar dari senyum di wajah mereka. “Eriani Bellina & Ferania Sentosa” , itulah tulisan yang tertera dibawah foto. Eri terlihat bahagia dengan topi rajutan dan poni yang hampir menutupi mata. Dan Ferania tampak manis berkat rambut ikalnya yang panjang sebahu. Pipinya merona seperti disapu blush-on merah muda. Topi rajutan yang kembaran dengan Eri menangkup sempurna dikepala. Iya, Eri masih ingat dengan jelas kapan mereka berdua sangat dekat. Mungkin berlibur di Jepang di musim salju tahun lalu adalah yang terakhir, atau bahkan mungkin takkan pernah kesana untuk kedua kalinya. Dan semua itu, menyibak semua kenangan masa lalu mengingat semua keadaan kini sudah berubah.

Satu tahun yang lalu..
“Fera! Aku baru saja membuat tulisan yang bagus hari ini!” kata Eri dengan senyum ceria di pagi. Fera menatap buku panda Eri dengan senyuman hangat.
“Oh iya? Aku ingin menjadi pembaca pertama tentu saja.” kata Fera sambil mengajak Eri duduk di bangku depan kelas. Suasana saat itu masih sepi karena hari masih pagi. Melihat cuaca yang sangat mendung, murid-murid Sekolah Seni Seroja masih banyak yang belum berangkat sekolah.
“Ini bagus ..” kata Fera ketika baru saja membaca seperempat tulisan Eri di lembaran buku panda. Fera menatap Eri antusias.
“Karena ini tentang mimpi…” lanjut Fera lagi sambil menunduk kembali menatap buku panda Eri. Eri tersenyum riang. “Aku tahu kamu pasti mendukungku, kan?” tanya Eri sambil memandang keatas. Daun-daun trembesi pun berguguran di dekatnya oleh hembusan angin lembut.
Eriani Bellina adalah penulis mimpi. Ya, dia suka menulis apa saja tentang mimpi yang ingin diraihnya pada lembaran-lembaran kosong buku panda. Setiap harinya ia tunjukkan pada Ferania, sahabatnya. Dan Ferania selalu setia untuk memberi semangat dan membaca setiap goresan Eri.
***
Siang ini, suasana sangat ramai di koridor sekolah. Eri penasaran apa yang terjadi karena tidak seperti biasanya seperti ini. Semua anak-anak bergerombol melihat mading sekolah yang baru saja diperbarui. Terlihat sorot wajah ceria mereka. Eri ikut berdesakan dan mendekat ke mading. Dia menemukan sebuah tulisan tangan yang bagus, dan tulisan itu sangat ia kenal. Ya, itu tulisan Ferania! Tapi.. tapi.. tapi mengapa harus tulisan ini?? Eri terkejut dan segera berlari mencari Ferania.
Brak! Pintu kelas ia buka dengan kasar.
“Fera, kamu benar-benar tega!” sergah Eri tiba-tiba. Fera yang duduk santai di bangkunya terkejut dan menghampiri --- sahabatnya.
“Kenapa? Apa yang telah kulakukan hingga membuatmu begini?” tanya Fera dengan wajah tanpa dosa. Pipinya semakin merona merah.
“Mengapa kamu menempel tulisanku tentang mimpi di mading sekolah?! Apa maksudmu? Itu bukan karyamu, tapi kamu mengakui itu sebagai karyamu! Apakah kamu sadar bahwa itu salah?” bentak Eri emosi dengan nada tinggi. Eri memang sedikit temperamental. Sedikit saja ia tersentuh sebuah perlakuan yang menyakitkan, maka ia tak mudah memaafkan.
“Aku salah? Hei Eri.. bukankah ini langkah awal yang bagus untuk memulai karirmu menulis? Aku hanya ingin membuat tulisanmu diakui secara publik.” ujar Fera.
“Dengan mencantumkan namamu dibawah karyaku? Apakah itu bisa disebut langkah awal?” tanya Eri. Meledaklah tangis di ruang kelas yang lengang itu. Eri menangis di hadapan Fera. Dan Fera pun ikut menangis karena merasa bersalah.
“Aku tidak menyangka kamu seperti itu, Fer.. Aku tidak tahu apa maksudmu..” kata Eri.
“Eri.. Aku minta maaf. Mungkin caraku salah. Tetapi aku bisa meluruskannya.” kata Fera sambil menepuk pundak Eri.
“Air mata tidak akan bisa mengakhiri sebuah dosa. Apa kamu pikir dengan mengakui bahwa itu bukan karyamu bisa membuat semuanya percaya? Aku seharusnya mengikuti mimpiku,..terbang dengan sayapku sendiri tanpa bantuan orang lain. Sepertinya memberimu sebuah kesan selama ini tak akan ada gunanya. Seperti yang tercoret-coret diatas kertas kosong, aku hanya ingin lebih jujur padamu.. Seperti aku juga ingin kau jujur padaku.” kata Eri sambil melangkah pergi. Kembali di koridor, terdengar bisikan teman-teman.
“Ferania sangat cerdas menuliskan impiannya.”
“Aku kagum dengan tulisan Ferania ..”
Rumor yang tidak penting yang didengar Eri untuk pertama kalinya. Hati Eri tidak tenang dari perasaan yang terdalam. Perasaan terbakar menjalari seluruh tubuhnya. Dia mengharapkan sesuatu dari hal yang disebut ‘kenyataan’ ini. Eri tersadar, bahwa dia menerima kawan yang telah menjadi lawan. Sahabat, yang sekarang bisa disebut musuh.
Semua itu ia tangguhkan dan ia tak ingin mendengar lagi. Eri berlari ke taman sekolah dan pergi meninggalkan mereka. Dimulai sejak saat itu, persahabatan mereka berdua menjadi renggang. Tak ada lagi tegur sapa atau ceria canda tawa mereka. Tulisan-tulisan Eri yang menggunung di buku panda tak pernah lagi menjadi santapan Fera di pagi hari. Eri terkadang bimbang apakah masalahnya dengan Fera tergolong masalah yang sepele, ataukah masalah besar. Ia hanya bisa menerima sebuah kenyataan bahwa semua sudah terlanjur terjadi. Rasa pedih menusuk sebagai sahabat yang hatinya terluka dan tercabik. Itulah yang kini dirasakan Eri dan berlanjut hingga mereka berdua lulus. Tak ada kontak, tak ada surat, semua berlalu begitu saja…
            di Jepang…
Ada sosok yang dirindukan, ada sesorang yang selalu terbayang. Semua itu tentu saja selalu dirasakan untuk orang-orang yang jauh dari kampung halaman. Begitupun juga yang dirasakan Eri. Masih dengan buku panda di tangan, Eri menikmati suasana pantai Shingu yang penuh dengan anak-anak muda berselancar. Menikmati suasana hangat dengan kacamata hitam, Eri menyeruput lemon yang sejak dari tadi menemaninya.
Untuk apa aku hidup?? Aku ingin meneriakkannya dengan keras. Apakah kau bisa mendengarku ombak biru dan langit yang terbentang? Teriak batin Eri. Sudah selama ini ia merasakan kehilangan sosok yang berarti. Masih ada banyak hal dalam hidup untuk menghapus semua perasaan itu. Eri ingin mengulangnya dari awal, supaya dapat menyelesaikan semua yang belum terselesaikan. Haruskah semua dimulai lagi?
Eri menggambar suasana pantai di buku panda itu. Kini Eri lebih sering menggambar di buku itu ketimbang menulis diantara kegalauan hati yang menerpa bagai ombak di pantai Shingu. Sret..sret..sret.. goresan indah yang selalu saja memukau. Ya, tangan Eri memang tangan handal!
“Buku panda kamu…..” ada seseorang mendekat.
“Ya?” Eri mendongak dan terkejut. Seketika ia menangis.
“Fera..!” Eri memeluk Fera hangat. Benar, Fera yang selama ini mengisi pikiran Eri. Eri merindukan sahabatnya itu.
“Mengapa kamu melarikan diri? Mengapa kamu pergi ke Jepang tanpa memberitahuku?” tanya Fera. Air mata menitik membasahi bulu matanya yang lentik.
“Dari apa aku melarikan diri? Apakah hal ini bisa disebut kenyataan?” tanya Eri dengan mata sembab dan masih berada di pelukan Fera.
“Eri.. aku minta maaf. Aku harus meminta maaf untuk ini. Ah, maafkan aku. Aku tidak bisa mengatakannya dengan baik,. Aku hanya membuat khawatir.” ucap Fera.
Bagaimana aku bisa membuka pintu selanjutnya? Aku berpikir. Kisah yang tak dapat ditarik kembali telah dimulai. Buka matamu. Buka matamu. Dan kini kita bertemu kembali di tempat yang indah.. batin Eri bergolak.
“Aku hidup untuk membuat hal-hal ini menjadi kenyataan. Di tengah malam ketika memoriku memudar, aku tidak bisa pura-pura lagi. Tapi tidak ada tempat yang kutuju. Aku akan merasa nostalgia tentang ini. Aku menerima rasa sakit ini. Fera, ketahuilah aku menulis catatan tentang mimpi. Bahkan, aku menulis tentangmu. Merajut impian ingin bertemu denganmu suatu saat. Dan impian itu terbang hingga sayap-sayap itu membawamu. Fera, aku merindukanmu, sampai kapanpun kamu tetap sahabatku.” kata Eri tersenyum disela tangisnya.
“Sudahlah.. jangan katakan kebohongan ini. Hatiku tidak tenang dari perasaan yang terdalam. Bukankah kau tak akan sudi memaafkanku?” tanya Fera. Eri pun tertawa dan mencubit pipi Fera keras.
“Harus berkata seperti apa agar kamu percaya??”
“Jangan tunjukkan wajah sedihmu saat kau berkorban. Haha.. Biasakanlah berkata jujur..”
Fera, ternyata.. masih seperti biasanya. Aku menyesal atas kenyataan itu. Aku senang atas kebaikan yang kuterima, karena itu aku ingin menjadi lebih kuat. Aku merasa nostalgia.
Jepang, 17 Januari 2013
-Catatan Harian Eri-
Foot note:
I-Pod: perangkat portabel untuk menyimpan dan memainkan file media digital.
Blush-On: Pemerah pipi adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk mewarnai pipi dengan sentuhan artistik

Tema 1 #MelodiHijauOranye

{ 2 komentar... read them below or Comment }

  1. semoga langgeng yah persahabatannya... sahabat itu juga salah satu harta yg paling berharga... nice article

    BalasHapus
  2. Makasih Ka SheRiz yang udah komen :))

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Followers

copyright by Nurina Susanti. Diberdayakan oleh Blogger.

NURINAERNEST

Foto Saya
Indonesian author | Love Printmaking | Be enthusiasticc everyday! :)

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

- Copyright © 2013 Nurinaernest -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -