Dibawah
naungan pohon trembesi dengan dedaunan yang terus berguguran, Eri duduk
termangu. Tangannya menggenggam I-Pod
dan kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama lagu. Meski dari jauh dia
terlihat bahagia, namun sebenarnya dia adalah salah satu dari sekian banyak
orang yang sempat kecewa di dunia ini.
Eri membuka
buku catatan bergambar panda yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Di dalam
buku itu ada sebuah foto yang sedikit usang. Foto dua anak remaja perempuan
yang terlihat akrab. Kedekatan itu terpancar dari senyum di wajah mereka.
“Eriani Bellina & Ferania Sentosa” , itulah tulisan yang tertera dibawah
foto. Eri terlihat bahagia dengan topi rajutan dan poni yang hampir menutupi
mata. Dan Ferania tampak manis berkat rambut ikalnya yang panjang sebahu.
Pipinya merona seperti disapu blush-on
merah muda. Topi rajutan yang kembaran dengan Eri menangkup sempurna dikepala.
Iya, Eri masih ingat dengan jelas kapan mereka berdua sangat dekat. Mungkin
berlibur di Jepang di musim salju tahun lalu adalah yang terakhir, atau bahkan
mungkin takkan pernah kesana untuk kedua kalinya. Dan semua itu, menyibak semua kenangan masa lalu mengingat semua
keadaan kini sudah berubah.
Satu
tahun yang lalu..
“Fera! Aku
baru saja membuat tulisan yang bagus hari ini!” kata Eri dengan senyum ceria di
pagi. Fera menatap buku panda Eri dengan senyuman hangat.
“Oh iya? Aku
ingin menjadi pembaca pertama tentu saja.” kata Fera sambil mengajak Eri duduk
di bangku depan kelas. Suasana saat itu masih sepi karena hari masih pagi.
Melihat cuaca yang sangat mendung, murid-murid Sekolah Seni Seroja masih banyak
yang belum berangkat sekolah.
“Ini bagus ..”
kata Fera ketika baru saja membaca seperempat tulisan Eri di lembaran buku
panda. Fera menatap Eri antusias.
“Karena ini
tentang mimpi…” lanjut Fera lagi
sambil menunduk kembali menatap buku panda Eri. Eri tersenyum riang. “Aku tahu
kamu pasti mendukungku, kan?” tanya Eri sambil memandang keatas. Daun-daun
trembesi pun berguguran di dekatnya oleh hembusan angin lembut.
Eriani Bellina
adalah penulis mimpi. Ya, dia suka menulis apa saja tentang mimpi yang ingin
diraihnya pada lembaran-lembaran kosong buku panda. Setiap harinya ia tunjukkan
pada Ferania, sahabatnya. Dan Ferania selalu setia untuk memberi semangat dan membaca
setiap goresan Eri.
***
Siang ini,
suasana sangat ramai di koridor sekolah. Eri penasaran apa yang terjadi karena
tidak seperti biasanya seperti ini. Semua anak-anak bergerombol melihat mading
sekolah yang baru saja diperbarui. Terlihat sorot wajah ceria mereka. Eri ikut
berdesakan dan mendekat ke mading. Dia menemukan sebuah tulisan tangan yang
bagus, dan tulisan itu sangat ia kenal. Ya, itu tulisan Ferania! Tapi.. tapi..
tapi mengapa harus tulisan ini?? Eri terkejut dan segera berlari mencari Ferania.
Brak! Pintu
kelas ia buka dengan kasar.
“Fera, kamu
benar-benar tega!” sergah Eri tiba-tiba. Fera yang duduk santai di bangkunya
terkejut dan menghampiri --- sahabatnya.
“Kenapa? Apa
yang telah kulakukan hingga membuatmu begini?” tanya Fera dengan wajah tanpa
dosa. Pipinya semakin merona merah.
“Mengapa kamu
menempel tulisanku tentang mimpi di mading sekolah?! Apa maksudmu? Itu bukan
karyamu, tapi kamu mengakui itu sebagai karyamu! Apakah kamu sadar bahwa itu
salah?” bentak Eri emosi dengan nada tinggi. Eri memang sedikit temperamental.
Sedikit saja ia tersentuh sebuah perlakuan yang menyakitkan, maka ia tak mudah
memaafkan.
“Aku salah?
Hei Eri.. bukankah ini langkah awal yang
bagus untuk memulai karirmu menulis? Aku hanya ingin membuat tulisanmu diakui
secara publik.” ujar Fera.
“Dengan
mencantumkan namamu dibawah karyaku? Apakah itu bisa disebut langkah awal?”
tanya Eri. Meledaklah tangis di
ruang kelas yang lengang itu. Eri menangis di hadapan Fera. Dan Fera pun ikut
menangis karena merasa bersalah.
“Aku tidak
menyangka kamu seperti itu, Fer.. Aku tidak tahu apa maksudmu..” kata Eri.
“Eri.. Aku
minta maaf. Mungkin caraku salah. Tetapi aku bisa meluruskannya.” kata Fera
sambil menepuk pundak Eri.
“Air mata
tidak akan bisa mengakhiri sebuah dosa. Apa kamu pikir dengan mengakui bahwa
itu bukan karyamu bisa membuat semuanya percaya? Aku seharusnya mengikuti
mimpiku,..terbang dengan sayapku sendiri tanpa bantuan orang lain. Sepertinya
memberimu sebuah kesan selama ini tak akan ada gunanya. Seperti yang tercoret-coret
diatas kertas kosong, aku hanya ingin lebih jujur padamu.. Seperti aku juga
ingin kau jujur padaku.” kata Eri sambil melangkah pergi. Kembali di koridor,
terdengar bisikan teman-teman.
“Ferania
sangat cerdas menuliskan impiannya.”
“Aku kagum dengan
tulisan Ferania ..”
Rumor yang
tidak penting yang didengar Eri untuk pertama kalinya. Hati Eri tidak tenang
dari perasaan yang terdalam. Perasaan terbakar menjalari seluruh tubuhnya. Dia
mengharapkan sesuatu dari hal yang disebut ‘kenyataan’ ini. Eri tersadar, bahwa
dia menerima kawan yang telah menjadi lawan. Sahabat, yang sekarang bisa
disebut musuh.
Semua itu ia
tangguhkan dan ia tak ingin mendengar lagi. Eri berlari ke taman sekolah dan
pergi meninggalkan mereka. Dimulai sejak saat itu, persahabatan mereka berdua
menjadi renggang. Tak ada lagi tegur sapa atau ceria canda tawa mereka.
Tulisan-tulisan Eri yang menggunung di buku panda tak pernah lagi menjadi
santapan Fera di pagi hari. Eri terkadang bimbang apakah masalahnya dengan Fera
tergolong masalah yang sepele, ataukah masalah besar. Ia hanya bisa menerima
sebuah kenyataan bahwa semua sudah terlanjur terjadi. Rasa pedih menusuk
sebagai sahabat yang hatinya terluka dan tercabik. Itulah yang kini dirasakan
Eri dan berlanjut hingga mereka berdua lulus. Tak ada kontak, tak ada surat,
semua berlalu begitu saja…
di
Jepang…
Ada sosok yang
dirindukan, ada sesorang yang selalu terbayang. Semua itu tentu saja selalu
dirasakan untuk orang-orang yang jauh dari kampung halaman. Begitupun juga yang
dirasakan Eri. Masih dengan buku panda di tangan, Eri menikmati suasana pantai
Shingu yang penuh dengan anak-anak muda berselancar. Menikmati suasana hangat
dengan kacamata hitam, Eri menyeruput lemon yang sejak dari tadi menemaninya.
Untuk apa aku hidup?? Aku ingin
meneriakkannya dengan keras. Apakah kau bisa mendengarku ombak biru dan langit
yang terbentang? Teriak batin Eri. Sudah selama ini ia merasakan kehilangan
sosok yang berarti. Masih ada banyak hal dalam hidup untuk menghapus semua
perasaan itu. Eri ingin mengulangnya dari awal, supaya dapat menyelesaikan
semua yang belum terselesaikan. Haruskah semua dimulai lagi?
Eri menggambar
suasana pantai di buku panda itu. Kini Eri lebih sering menggambar di buku itu
ketimbang menulis diantara kegalauan hati yang menerpa bagai ombak di pantai
Shingu. Sret..sret..sret.. goresan indah yang selalu saja memukau. Ya, tangan
Eri memang tangan handal!
“Buku panda
kamu…..” ada seseorang mendekat.
“Ya?” Eri
mendongak dan terkejut. Seketika ia menangis.
“Fera..!” Eri
memeluk Fera hangat. Benar, Fera yang selama ini mengisi pikiran Eri. Eri
merindukan sahabatnya itu.
“Mengapa kamu
melarikan diri? Mengapa kamu pergi ke Jepang tanpa memberitahuku?” tanya Fera.
Air mata menitik membasahi bulu matanya yang lentik.
“Dari apa aku
melarikan diri? Apakah hal ini bisa disebut kenyataan?” tanya Eri dengan mata
sembab dan masih berada di pelukan Fera.
“Eri.. aku
minta maaf. Aku harus meminta maaf untuk ini. Ah, maafkan aku. Aku tidak bisa
mengatakannya dengan baik,. Aku hanya membuat khawatir.” ucap Fera.
Bagaimana aku bisa membuka pintu
selanjutnya? Aku berpikir. Kisah yang tak dapat ditarik kembali telah dimulai.
Buka matamu. Buka matamu. Dan kini kita bertemu kembali di tempat yang indah.. batin
Eri bergolak.
“Aku hidup
untuk membuat hal-hal ini menjadi kenyataan. Di tengah malam ketika memoriku
memudar, aku tidak bisa pura-pura lagi. Tapi tidak ada tempat yang kutuju. Aku
akan merasa nostalgia tentang ini. Aku menerima rasa sakit ini. Fera,
ketahuilah aku menulis catatan tentang mimpi. Bahkan, aku menulis tentangmu.
Merajut impian ingin bertemu denganmu suatu saat. Dan impian itu terbang hingga
sayap-sayap itu membawamu. Fera, aku merindukanmu, sampai kapanpun kamu tetap
sahabatku.” kata Eri tersenyum disela tangisnya.
“Sudahlah..
jangan katakan kebohongan ini. Hatiku tidak tenang dari perasaan yang terdalam.
Bukankah kau tak akan sudi memaafkanku?” tanya Fera. Eri pun tertawa dan
mencubit pipi Fera keras.
“Harus berkata
seperti apa agar kamu percaya??”
“Jangan
tunjukkan wajah sedihmu saat kau berkorban. Haha.. Biasakanlah berkata jujur..”
Fera,
ternyata.. masih seperti biasanya. Aku menyesal atas kenyataan itu. Aku senang
atas kebaikan yang kuterima, karena itu aku ingin menjadi lebih kuat. Aku
merasa nostalgia.
Jepang, 17 Januari 2013
-Catatan
Harian Eri-
Foot note:
I-Pod: perangkat
portabel untuk menyimpan dan memainkan file media digital.
Blush-On: Pemerah
pipi adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk mewarnai pipi dengan sentuhan
artistik
Tema 1 #MelodiHijauOranye
semoga langgeng yah persahabatannya... sahabat itu juga salah satu harta yg paling berharga... nice article
BalasHapusMakasih Ka SheRiz yang udah komen :))
BalasHapus