Posted by : Nurinaernest
Rabu, 31 Oktober 2012
MELODIA
“Dia biasa
datang pada malam bulan purnama,” kata Carla berbisik padaku. Aku bergidik.
Apakah ia akan serius mengajakku pada ekspedisi yang selalu ingin ia lakukan?
Sejujurnya aku tak terlalu suka dengan idenya itu. Carla memang sudah gila. Aku
pun hanya menatap bubur kacang yang ada di hadapanku dengan tatapan jijik
seolah bubur itu berubah menjadi kotoran monster berwarna hijau yang membuat
setiap mata enek melihatnya. Sesendok bubur kacang terpaksa kutelan dan aku pun
memuntahkannya secara tak sengaja.
“Ayo cepat
habiskan. Jangan sampai kamu tidak semangat makan hanya karena petualangan
nanti malam,” sergah Carla dengan mata berbinar. Warna pupil matanya yang
berwarna biru dan matanya yang lentik membuatku merasa tak berdaya. Aku tahu
sebagai sosok remaja laki-laki haruslah berani dan kuat, apalagi kalau harus
menjaga perempuan. Dan aku pun semakin geli bahwa aku kebalikan dari Carla. Aku
penakut, dan Carla tak tahu bahwa selama ini aku menyembunyikan rasa takutku
dalam keberaniannya.
Carla Lavina,
selalu suka mengamati hal-hal aneh yang terjadi di sekitarnya. Dia menyukai
hal-hal mistis atau cerita horor dari nenek moyang, juga mitos terkenal yang
selama ini menggegerkan desa tempat tinggal kami. Itu semua terkait dengan
Melodia, sosok misterius yang sering diperbincangkan di bisikan para tetangga.
Isunya, dia selalu muncul pada malam bulan purnama, pertengahan bulan Oktober.
Dengan ditandai suara-suara musik halus yang mengalun dan akan menghinoptis
setiap telinga yang mendengarnya hingga ia akan muncul di tengah-tengah stasiun
kereta yang sepi. Dan lucunya, aku harus menyaksikan Melodia, di hari ulang
tahun Carla! Benar-benar tidak masuk akal. Aku tak tahan bahwa aku penakut dan
selalu memaksa diri untuk menuruti kemauan Carla. Menyaksikan benda-benda aneh
walau aku yakin aku tak bisa melihat makhluk-makhluk itu walaupun dengan
teropong sekalipun.
“Melodia
sangat istimewa,” ucap Carla membuyarkan lamunanku. Aku melongo menatap
sepasang mata indah dihadapanku.
“Istimewa?”
tanyaku.
“Tentu saja
Kevin, coba bayangkan ini mitos paling hangat dan menegangkan. Aku semakin
penasaran seperti apa hantu melodia itu.” kata Carla.
“Kau yakin
ingin mengajakku di hari ulang tahunmu untuk melihat makhluk aneh itu?”
“Tentu saja, Mengapa
tidak? Bukankah kita selalu melakukannya bersama-sama? Kau juga suka kan
petualangan yang selalu kita lakukan ini? Ini sangat mengasyikkan.” jelas
Carla. Aku pun mual. Bila bukan karena aku suka Carla, mungkin aku tak akan
pernah mau menemaninya mengunjungi tempat-tempat aneh selama ini. Carla seperti
melodi bagiku. Ya, karena dia suka musik, dan nyanyian yang ia lantunkan selalu
membuatku terhipnotis. Carla selalu mengaku melihat sesuatu yang sama sekali
tak bisa kulihat. Dan aku hanya berpura-pura melihatnya juga.
Dan kali ini, hantu
Melodia, demikian seringkali ia sebut kini menghantui pikiranku.
15 Oktober
Siang yang
begitu panas, aku duduk bersandar di dekat pohon tua dekat stasiun kereta.
Menunggu Carla, tentu saja. Aku pun meraih I-Pod di sakuku dan meraih earphone, dan tiba-tiba..
Tiittttt----
Aku
terperanjat kaget. Mati? Berdengung? Dan sekelebat bayangan hitam melesat dari
sudut rel. Aku pontang-panting berlari dan tiba-tiba menubruk seseorang..
“Kevin? Apa
yang kau lakukan? Hei..”
Oh,Carla!
“Aku..aku
melihat tempat untuk malam nanti…” kataku belepotan. Carla mengerling curiga.
“Kau..
melihat sesuatu??”
“Ah,tidak..hanya
heran mengapa tiba-tiba I-Pod ku tak ada melodi sama sekali..” kataku gugup
dengan muka pucat pasi.
“Ah,
kau ada-ada saja, mungkin kau ingin cepat bertemu Melodia? Lucu juga ternyata
Kevin.” Carla tertawa.
Ini
benar-benar aneh. Melodi dalam I-Pod ku seperti telah dicuri. Aku yakin seperti
itu kenyataannya. Aku suka musik, dan aku tak bisa hidup tanpa musik. Musik
adalah energi bagiku dan alhasil, tanpa melodi maka tak akan ada musik. Musik
adalah jiwaku. Tiba di rumah, aku mencari-cari radio, semua yang bisa
menghasilkan musik didalam rumah kecil ini tetapi aku tak menemukannya satu
pun! Semua telah dicuri! Hilang, lenyap tanpa sisa. Nafasku ternegah dan degup
jantungku kencang. Aku jatuh terduduk dan segera menelpon Carla.
“Segera datang kesini dan persiapkan semua
yang akan kita bawa nanti malam,”
“Ya, baiklah.”
---
Terdengar
suara ketukan di pintu. Itu pasti Carla. Dengan cekatan aku mempersilahkannya
masuk. Dia tampak tersenyum. Sungguh, gadis yang pemberani.
“Aku
membawa semua yang kita butuhkan,” kata Carla.
“Kamera?”
“Ya,
tentu saja itu sudah siap,” katanya sambil menarikku keluar rumah.
---
Stasiun Kereta, malam hari
Angin
malam berdesir halus. Inilah saat-saat yang menegangkan bagiku namun entah bagi
Carla. Dengan senter yang menyala di tangan kami, kami sibuk menangkap apapun
yang bisa kami lihat. Dengan kamera yang menggantung di lehernya, Carla kembali
sibuk bercerita tentang Melodia dan mitos hangat para tetangga. Aku hanya masih
mengecek apakah melodi pada I-Pod ku sudah kembali tetapi rupanya belum.
Sepersekian
detik, seberkas cahaya putih mengagetkanku, juga Carla.
“Dia
datang!” kata Carla.
“Jangan
berhalusinasi. Apakah itu pantulan cahaya?” kataku menenangkan diri.
Aku
semakin berdebar. Bila Carla tak berada disampingku, mungkin aku sudah lari dan
buang air kecil di celana. Sungguh ini benar-benar menakutkan meskipun ini
bukan kali pertama kami pergi ke stasiun kereta di malam hari.
Suara
Carla berubah menjadi serak, dia berteriak dan tiba-tiba sudah berada
ditengah-tengah rel dengan leher tercekik oleh bayangan yang tak terlihat.
“Kevin,tolongg…!”
teriak Carla. Aku hanya bisa berdiri kaku tanpa bisa melangkahkan kaki. Kakiku
terkunci dan mulutku terkatup tak dapat bersuara. Carla masih disitu, tapi
tiba-tiba menghilang! Sekejap aku dapat kembali berbicara dan melangkahkan kaki
menuju rel dan tak mendapati sisa apapun yang tertinggal. Aku terduduk dan
terjatuh. Rapuh. Kini melodi hatiku telah dicuri lagi.
Masih
terpukul akan hilangnya Carla, para tetangga semakin takut akan berita baru
bahwa Melodia tak pernah menghasilkan melodi tapi dialah pencuri melodi. Aku
masih gila dan pikiranku hanya tertuju pada Carla hingga tiba-tiba gitar tuaku
kembali di depan pintu rumah, dengan tulisan tercetak tinta merah “KAULAH YANG KEDUA. KUTUNGGU KAU di KERETA”
Darahku membeku, dan aku tak
dapat bersuara lagi.
*earphone: sepasang pengeras suara kecil yang digunakan sangat
dekat dengan telinga
*I-Pod: pemutar file media yang diciptakan oleh perusahaan Apple
Wow!
BalasHapusKeren nih! Idenya masukin mitos bagus. :D
Terimakasih Kakak Stany :)
BalasHapus