Posted by : Nurinaernest
Jumat, 25 November 2011
Tiba-tiba Bunda menghampiriku. Barangkali soal Cinta. Pasti Cinta. Dan ketiga kalinya, mungkin Cinta lagi. Mengapa selalu Cinta yang ada di pikirannya? Tak pernah sedikitpun aku? Tak pernah pula pohon-pohon yang ditanam itu, lalu bunga-bunga di pekarangan yang mekar itu untukku? Tetapi selalu untuk Cinta? Yang hadir selalu tanya di hatiku. Apakah aku tak berguna? Mungkinkah aku tak punya peran sama sekali di hidup ini?
Pagi ini Bunda mencari-cari Cinta. Tak hanya pada pagi ini. Sudah sering pada pagi-pagi sebelumnya, Bunda menanyakan soal Cinta. Ku jawab tak tahu. Karena aku memang tak mau tahu. Aku muak dan kesal dengan kata-kata Bunda yang selalu menyebut Cinta di setiap hidupku. Tak pernah sekalipun aku yang ditanyakannya. Padahal aku pun juga punya hak padanya. Mungkin sikapku bisa dibilang iri. Tapi sebenarnya aku tidak seperti itu. Aku hanya ingin diperhatikan. Bukankah itu wajar, mengingat aku adalah bagian dari keluarga ini bukan?
Cinta, saudara kembarku itu. Ia pernah sakit parah dan dibawa ke rumah sakit selama empat minggu. Cinta sekarat karena dia mengendarai motor dengan kencang hingga menabrak mobil di depannya yang tiba-tiba mengerem. Sehingga gerak kecepatan tidak tetap, dan terjadilah kecelakaan. Semula aku sedih dan bingung. Semua pun begitu. Setiap hari yang kudengar selalu keluh-kesah Bunda atas Cinta. Tak pernah Bunda absen menjenguknya di rumah sakit. Bunda pun rajin menanam pohon dan bunga-bunga di pekarangan. Bunda merangkai bunga, dan memberikannya pada Cinta. Di pohon-pohon itu, Bunda mengukir nama ’CINTA’ .Saat itu, aku hanya supirnya yang tak jua diperhatikan. Mungkin benar, Cinta pantas mendapatkan semua itu. Saat itu, aku juga berharap banyak agar Cinta segera sembuh. Tapi kini, Cinta pun tak peduli padaku.
“Na, coba tanya Cinta, dia sudah makan apa belum? “ tanya Bunda padaku yang sedang menyikat sepatu.
“Bunda, mengapa selalu Cinta? Mengapa tak pernah Tresna? Mengapa bunda tak pernah tanya tentangku? Mengapa, Bunda? Mengapa tak ada ukiran-ukiran nama ‘TRESNA’ di pohon-pohon yang ditanam Bunda? Dan mengapa Bunda tak pernah merangkai bunda untuk Tresna? Bunda, mengapa selalu Cinta?” ucapku yang akhirnya keluar juga. Selama ini ingin aku tanyakan hal itu, tapi tak berani. Bunda hanya menatapku wajahku dengan tatapan yang tak mudah kuartikan. Pancaran wajahnya yang biasanya bening, kini menakutkan hatiku. Apakah pertanyaanku demikian kasar?
Cinta, saudara kembarku itu. Yang satu bulan yang lalu pulang dari rumah sakit, kini sebenarnya sudah tampak segar dan sehat. Tak perlu lagi mendapatkan suapan bubur dari Bunda. Tapi sepertinya Bunda masih menganggap Cinta masih sakit dan butuh perhatian lebih. Padahal yang sekarang sakit itu justru aku. Karena sekarang, hatiku sakit akan sikap Bunda. Bunda tak pernah menanyakan tentangku.
Semenjak Cinta sembuh dari sakit, kini ia mulai lagi seperti dulu. Pulang sekolah ngluyur bersama temannya. Kunasehati dia agar tidak kluyuran karena Bunda sering mengkhawatirkannya. Tapi dia tak peduli. Cinta memang tak pernah peduli akan ucapanku. Aku kesal padanya, dan dia tak menanggapi. Ia seakan tak suka memiliki saudara kembar. Ia hanya ingin sendiri. Aku terima kenyataan itu dengan pahit.
“Tresna, Cinta kemana?” tanya Bunda dengan wajah cemas.
“Katanya dia pergi bersama temannya. Apakah Bunda tidak tahu? Dia tak suka ditanya.” jawabku.
“Bunda tidak mengerti maksudmu, Na.” keluh Bunda.
“Dia tidak suka dengan orang lain yang ingin tahu urusannya. Entah ia akan pulang atau tidak hari ini. Seperti sewaktu ia belum sakit. Bukankah dia dulu juga seperti itu?” kataku. Bunda menunduk. Mungkin Bunda ingin berkata setuju tapi tak mau.
***
Mengapa selalu Cinta? Yang selalu menghadirkan masalah di hidupku. Hari ini, dia tidak masuk sekolah tanpa alasan. Padahal tadi pagi kulihat dia berseragam sekolah dari rumah. Kami memang tidak pernah berangkat sekolah bersama. Aku menyesal tidak menyapanya tadi. Lalu kemana dia? Dan teman-teman menyalahkanku.
“Mengapa kau tidak menanyainya sewaktu dia berangkat?” tanya Ange.
“Seharusnya kalian berangkat bersama. “ kata Fega.
“Apakah kalian tidak akur?” tanya Soraya yang tak kujawab karena perkataan dan pertanyaan itu terus bertubi-tubi.
Semua khawatir dengan Cinta. Kelihatannya papan tulis, bangku-bangku dan aneka buku bacaan di ruang kelas ini juga tak memihak padaku. Benda-benda itu hanya diam dan tak membelaku. Semua tak peduli dengan perasaanku. Padahal sudah kubilang pada mereka bahwa aku benar-benar tak tahu.
“Tresna, kelihatannya kamu sedang ada konflik?” tanya Rosyana. Aku pun menceritakan semuanya. Dan dia prihatin.
“Aku tahu sikapmu benar, tapi.. tidak sepenuhnya benar, Na…” Mungkin wajar sikap bundamu karena teringat dengan peristiwa saat Cinta sakit. Semua orang tua pasti juga akan memberi perhatian lebih saat tahu anaknya sakit. Kamu tidak boleh membenci bundamu, Na.” nasehat Rosyana.
“Aku tidak membenci bundaku. Aku juga tidak membenci Cinta. Kukira kamu akan membelaku. Ternyata kamu sama saja seperti yang lain. Selalu menyalahkanku tanpa tahu apa masalahnya. ..” kataku ketus pada Rosyana. Lalu aku berdiri dan pergi keluar kelas.
Sungguh sakit. Sebenarnya aku tak tega berkata begitu pada Rosyana. Karena dia adalah teman terbaikku. Biarlah, aku sendiri saja. Memang Cinta yang selalu diharapkan. Memang selalu Cinta..
Mungkin sikapku memang salah. Ah, begitu rumit Dan aku tak mengerti semua ini.
***
Cinta, saudara kembarku itu. Menurutku namanya tidak cocok dengan sikapnya. Karena dia tidak punya cinta. Dia tak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya. Dia hanya suka pergi ke rumah sobatnya tanpa izin sehingga membuat Bunda khawatir. Cinta lupa sewaktu dia sakit. Banyak orang mendoakannya agar cepat sembuh. Dan sekarang sifatnya tak sedikitpun berubah.
Cinta, saudara kembarku itu. Sekalipun namanya Cinta. Mungkin dia benar-benar tak punya cinta. Sadarkah? Bahwa aku tak pernah pergi berdua dengannya seperti manusia-manusia kembar identik yang lain. Sewaktu kecil, Bunda sering membelikan benda-benda untukku dan Cinta dengan warna kembar, dan selalu kembar. Ia pun tak ingin kembaran, dan aku tak suka sikapnya itu.
***
Malam ini, kutatap bintang-bintang lewat jendela kaca kamarku. Bintang-bintang yang bertebar indah dan terang. Berkedip-kedip membuat semua yang menatapnya terkesima. Sayangnya hatiku tak seterang bintang-bintang itu. Hatiku yang berselimut debu membuatku penuh resah. Mungkin aku sama dengan Cinta. Kusadari aku memang tak punya perasaan. Aku terlampau egois. Sikapku tak selamanya benar. Aku menyadari. Mungkin selama ini Cinta juga punya masalah. Dan aku tak pernah saling mengungkapkan perasaan dengan Cinta. Sehingga hubungan kami kurang dekat. Ya Allah, kesalahanku demikian banyak hingga tak mungkin dapat kuhitung…
***
“Bunda,…” sapaku pada Bunda di meja makan di pagi. Senyum manisku tak seperti biasanya. Mulai hari ini, aku ingin menata hariku agar lebih baik. Aku tidak ingin bersikap egois meskipun dunia tak memperhatikanku. Kali ini Bunda tampak sedih. Senyumku tak dibalasnya. Wajah Bunda justru pucat. Lidahku kelu. Aku bingung dibuatnya, dan tak tahu harus berbuat apa. Apakah aku telah telat merubah sikap? Di meja makan ini, hanya ada Bunda dan aku. Tak ada Cinta. Ah, aku tak mau menilai buruk sikap Cinta. Mungkin dia kecapekan dan belum bangun.
“Kali ini Bunda tidak bertanya soal Cinta, Na..” ucap Bunda membuatku bingung. Aku menatapnya penuh tanya.
“Tapi Bunda cemas dan sedih. Sejak kemarin, Cinta belum pulang. Bunda ingin bertanya padamu. Tapi pasti kamu tak tahu kan kemana perginya Cinta?”
Astaga! Baru kusadari. Sejak kemarin aku tidak melihat Cinta. Dimanakah Cinta sekarang? Kulihat wajah Bunda sangat cemas. Aku merasa bersalah pada semua orang saat ini.
“Baiklah Bunda. Nanti coba kucari tahu kemana Cinta.” kataku membuat wajah Bunda sedikit berubah.
“O’iya, Na. Bunda ingin menjelaskan sesuatu padamu.” kata Bunda. Lalu Bunda mengajakku ke pekarangan rumah.
“Lihatlah pohon-pohon yang Bunda tanam. Tresna pernah bertanya kan, mengapa Bunda mengukir kata ‘CINTA’ pada batang pohon itu?”
“Iya,” jawabku.
“Sebenarnya bukan maksud Bunda seperti itu. Kamu mungkin merasa, dan Bunda juga merasa bahwa keluarga kita kurang bersatu karena kurangnya rasa cinta. Maka Bunda mengukir kata itu, agar kamu dan Cinta membacanya. Dan sadar agar memupuk rasa cinta. Dan kita bisa bersatu. Tanpa ada permusuhan. Sekarang kamu tahu maksud Bunda? Itu semua sudah Bunda mulai saat kalian lahir. Bunda beri kalian nama yang mirip. ‘Tresna’ itu, dalam bahasa Jawa berarti ‘cinta’. Bunda bingung dengan kalia. Yang tak seperti kembar-kembar yang lain.” Bunda menghela nafas.
“Iya, Bunda, maafkan Tresna yang selama ini salah.” ucapku. Semua kata-kata manis Bunda telah menyadarkanku.
“Terima kasih, Tresna.” ucap Bunda.
***
Berangkat sekolah pagi ini terasa berbeda. Padahal aku tak tahu harus mencari Cinta kemana. Dan aku bingung. Ah, kutanya Dyla saja nanti. Dyla adalah sobat kentalnya dari kelas sebelah.
“Aku tidak tahu, Na.” kata Dyla menyurutkan semangatku mencari tahu.
“Kemarin, dia memang membolos. Aku pun juga. Tapi setelah jam pulang sekolah , kami pun pulang ke rumah.” jelas Dyla.
Dyla pun bercerita bahwa selama ini Cinta bermain ke rumahnya karena punya konflik. Cinta frustasi dan merasa tak punya teman. Bahkan Cinta merasa saudara kembarnya tak lagi memperhatikannya. Dan saudara kembarnya itu, adalah aku… Hanya Dyla yang selama ini baik padanya. Dyla menjadi teman curhat Cinta. Semua penjelasan Dyla membuatku sedih. Karena ternyata selama ini, aku belum bisa menjadi saudara kembar yang baik. Mengapa selalu Cinta? Yang dulu menebarkan benci, kini menebarkan rindu. Cinta, kemana engkau pergi?
***
Bunda menangis dan memelukku seperti dua tahun lalu saat menerima telepon dari rumah sakit bahwa ayah meninggal. Dan kini Bunda menangis lagi.
“Tresna, Cinta telah pulang…” kata Bunda. Ucapannya seperti belum selesai. Aku hanya diam. Mungkin maksud Bunda kali ini lain. Aku sangat takut dan cemas menerka-nerka apa yang akan diucapkannya nanti.
“Cinta telah pulang, Na. Cinta meninggal. Tadi rumah sakit menelepon bahwa ada korban kecelakaan. Dan itu adalah Cinta, saudara kembarmu. Ternyata, kemarin Cinta kecelakaan. Dan jasadnya baru ditemukan tadi sesaat sebelum rumah sakit menelpon.” Bunda menangis. Pasti Cinta kecelakaan karena dalam pikirannya berkecamuk berbagai masalah yang menghantuinya. Sehingga kehilangan kendali. Aku merasa sangat bersalah.
Persendianku terasa ngilu. Semuanya sulit untuk kuterima. Mataku berkunang-kunang seperti ingin pingsan. Tapi semua itu kutahan. Mengingat Bunda yang kini butuh pelukan.
Oh, benar-benar menyedihkan. Cinta, saudara kembarku itu. Kini aku tak bisa menatap wajahnya lagi. Dan alam pun memisahkan kita. Padahal aku tak sempat meminta maaf padanya. Cinta, mengapa engkau pergi? Disaat aku baru menyadari apalah arti hidup ini tanpa dirimu. Dan ternyata, selama ini, Cinta tidak kluyuran saat pulang sekolah. Tetapi dia curhat dan sharing dengan temannya. Oh, selama ini akulah yang salah paham. Aku benci diriku sendiri. Yang selalu menilai buruk Cinta. Segala penyesalanlah yang hanya bisa kutelan. Dan itupun tak berguna. Padahal aku tak ingin mebuat pusing hidupku. Tetapi rasa salah terus menghantuiku. Maafkan aku, Cinta. Selamat jalan..
Mengapa selalu Cinta? Yang dulu membuatku kecewa, kini malah membuatku rindu. Semua ini memberiku pelajaran. Bahwa sikap egois hanya akan berbuah penyesalan. Dulu, aku memang tidak pernah mau tahu tentang Cinta karena kesal dengan sikap Bunda yang tak pernah memperhatikanku. Ini semua tak adil bagi Cinta. Mengapa aku harus membencinya? Padahal ia tak selalu salah.
Mengapa selalu Cinta? Sulit, dan rumit….